Juniara meneguk air minumnya untuk melegakan dahaga. Ia melirik Aska yang entah sejak kapan memerhatikannya.
“Aku cuma minum doang, gak usah diliatin begitu,” ujar Juniara kurang nyaman ditatap terus oleh Aska. Bukan risi, ia hanya malu dan tak ingin kedapatan salah tingkah.
Aska tergelak seraya menepuk-nepuk puncak kepala Juniara dengan lembut. “Kayaknya banyak pikiran banget, ya? Dari tadi kamu gak fokus.”
Juniara tertegun mendengar Aska mengatakan hal itu. Aska menyadarinya? Apa ia terlalu menunjukkan ekspresi menyedihkan karena hari ini harusnya ia bertunangan dengan Aksa? Untuk menanggapinya, Juniara hanya tersenyum selebar mungkin seraya menatap Aska dengan mata yang menyipit, nyaris terpejam.
“Senyumnya palsu,” ledek Aska sambil menunjuk-nunjuk Juniara dengan tawa kecilnya.
“Ka,” Juniara tidak lagi menatap Askara, ia hanya memandangi ujung sepatunya yang berdebu. “kamu pernah kangen gak sama aku?” Pertanyaannya sedikit melantur dan tidak nyambung dengan pembicaraan mereka sebelumnya. Namun, Juniara juga penasaran dengan jawaban Aska mengenai hal ini.
“Kangen ya?” Aska malah balik bertanya. “Kangen sih, tapi ….” Ia menggantungkan kalimatnya, memancing agar Juniara menatapnya.
“Tapi apa?”
Aska berhasil membuat gadis itu menatapnya kembali, bahkan mempertanyakan kalimat selanjutnya. “Tapi aku takut kalau ketemu.”
Juniara mengerutkan kening. “Takut apa? Emang aku gigit?”
“Takut kita saling menyakiti lagi.”
Jawaban yang tak pernah Juniara bayangkan. Ia tak kepikiran Aska akan menjawabnya begitu.
“Keputusan aku buat lanjutin pendidikan di Belanda bikin kamu menyerah sama hubungan kita, dan aku malah menganggap kamu egois karena gak mau percaya sama aku. Lalu apa selanjutnya? Apa hari-hariku di sana bahagia? Aku kepikiran kamu setiap hari, meski aku gak tau apa kamu rasain hal yang sama atau enggak.” Aska menatap Juniara lekat-lekat, tak sekalipun menghindar meski tatapan mereka bertemu selama beberapa saat.
“Aku gak tau gimana kehidupan kamu selama empat tahun ini. Kamu pasti ketemu sama orang baru, punya teman baru, suasana baru. Kamu juga mungkin jatuh cinta sama seseorang?”
Juniara tertegun mendengar kalimat terakhir Aska. Ia jadi kelimpungan sendiri. Entah Aska menyadari atau tidak, Juniara tiba-tiba panik mengenai hubungannya dengan Aksa. Bagaimana kalau Aska tahu?
“Aku juga gitu kok,” lanjut Aska seketika membuat Juniara lega sekaligus kecewa secara bersamaan.
“Aku gak akan tanya kamu lagi ada masalah apa sampai kamu keliatan banyak beban kayak gini. Aku cuma mau kamu nikmatin aja waktu kamu selagi di sini. Mungkin kamu juga penat sama kuliah juga, kan? Ayo, selama aku masih bisa temenin kamu, kita senang-senang aja.
“Kita memang mantan, kita pernah bertengkar hebat sampai saling membenci. Tapi, sekarang kita ketemu lagi dengan keadaan yang lebih baik. Kita bisa berteman, kan? Anggap aja aku teman dekat yang sangat memahami kamu.” Aska mengulurkan tangan dengan senyuman tulus yang tidak pernah berubah sejak empat tahun terakhir.
Juniara menerima uluran itu dengan senang hati. Aska pun menggenggam tangannya dengan lembut. Ketika tatapan keduanya bertemu, mereka hanya bisa tertawa mengingat betapa kekanakannya mereka di masa lalu.
“Kita ketemu lagi, bukan berarti kita harus balikan, tapi enggak menutup kemungkinan aku gak akan jatuh cinta lagi sama kamu, Jelita.”
Ucapan Aska membuat jantungnya berdegup kencang. Ia amat terkejut dengan kalimat Aska yang tidak ia duga. Sebelumnya Juniara sudah lega kalau Aska tidak akan menanyainya macam-macam tentang kisah asmaranya kini. Akan tetapi, kalimat terakhirnya, membuat Juniara takut. Ia juga takut jatuh cinta lagi pada Askara. Ia takut hubungannya dengan Aksa akan hancur karena perasaan itu. Ia tak ingin mengecewakan siapa pun.
“Jari kamu.” Aska menunjuk-nunjuk pada tangan Juniara usai lepas dari genggamannya.
“Kenapa jari aku?” Juniara memeriksa jemarinya satu per satu untuk memastikan tidak ada yang aneh.
Aska menggeleng pelan. “Nggak, cuma … jari manis kamu masih kosong.”
Juniara menatap jari manis yang dimaksud. Iya kosong. Seharusnya hari ini seseorang memasangkan cincin di sana. Namun semuanya hanya rencana belaka. Rencana yang gagal.
“Kalau kamu berkenan dan mau kasih aku kesempatan, bisa sisakan itu buat aku?”