Perjanjian

Kev
7 min readFeb 17, 2024

Pangeran segera masuk kelas meskipun jam istirahat masih lama. Ia tak suka menjadi pusat perhatian semua orang di kantin. Makanya, begitu selesai membeli susu pisang kesukaannya, ia segera pergi dan memilih untuk menunggu jam masuk di kelas saja.

“Kenapa sih pada sok kenal sama gue? Gue gak suka jadi pusat perhatian kayak tadi,” gumamnya kesal sepanjang perjalanan menuju kelas.

Saat tiba di kelas, ia melihat Ratu hanya duduk manis di mejanya seraya membaca buku dengan tekun, tidak ikut memadati kantin seperti yang lain. Tempat duduk Pangeran tidak begitu dekat dengan Ratu, makanya ia sama sekali belum mengobrol apa pun sejak pagi tadi. Selain itu, banyak yang menanyai kabar dan berinisiatif menyontekkan tugas miliknya tanpa Pangeran minta.

“Ratu,” Pangeran menarik kursi dan mendudukinya di sebelah Ratu.

Ratu melirik Pangeran sebentar dan tersenyum singkat. “Eh, Ran.” Setelah itu, pandangannya kembali pada buku.

“Gue udah tau loh kalau lo pernah pacaran sama Raja.”

Ratu menoleh. “Terus?”

“Ya … gue cuma mau lo tau kalau gue udah tau soal ini,” sahut Pangeran berusaha untuk tidak terlalu kecewa sebab respons dari Ratu. Mungkin benar, perasaannya tidak terlalu penting untuk Ratu pedulikan. Ratu tak repot-repot merasa bersalah.

Ratu menutup bukunya dan bersidekap di atas meja menatap Pangeran. “Gimana keadaan lo sekarang?” tanyanya seraya melirik tangan kiri Pangeran yang masih terbalut perban.

“Baik.”

“Boleh curhat gak sih?” Ratu menatap Pangeran untuk mendapat jawaban. Setelah mendapat anggukan Pangeran, ia berkata, “Lo beruntung punya keluarga yang suportif, Ran.”

“Hah? Gimana?” Pangeran tak mengerti maksud ucapan Ratu.

“Intinya adalah … lo harus bersyukur karena punya keluarga yang selalu dukung lo di segala situasi,” jelas Ratu seraya kembali membuka bukunya yang ia tutup tadi.

Pangeran mengerutkan kening. “Emang lo gak punya? Bang Juna?”

Ratu mematung, pandangannya tidak beralih sedikit pun dari buku. Ia tak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu. Bukannya sulit, kalimatnya tertahan di tenggorokan. Ingin berterus terang, tetapi ia tak ingin keburukan keluarganya diumbar.

“Raja cerita soal Bang Juna yang ketat banget sama lo soal nilai sama peringkat kelas. Gue gak bisa membenarkan apalagi menyalahkan Bang Juna. Gue cuma mau lo tau kalau semua itu pasti ada alasannya. Coba lo pikirin, enak gak sih jadi orang pintar? Tiap liat soal tuh bawaannya happy karena paham sama materinya, bukan kayak gue yang udah nyerah duluan karena sama sekali gak paham,” terang Pangeran membagikan pandangannya pada Ratu.

“Waktu gue dapet nilai 45, lo dapet nilai berapa sih?” tanya Ratu sama sekali tidak nyambung dengan ucapan Pangeran sebelumnya.

“Sembilan.” Pangeran menunjukkan sembilan jari pada Putri.

“Dimarahin gak?”

Pangeran menggelengkan kepala. “Gue bukan anak kecil yang buku sekolahnya selalu diperiksa sama orang tua.”

“Terus, lo stres gak dapet nilai segitu?” Ratu terus bertanya.

“Lebih stres waktu ngerjain soalnya sih. Gue udah nebak kalau nilai gue bakal kecil sih, meskipun gue gak nyangka bisa sekecil itu.” Pangeran tergelak, menertawakan dirinya sendiri yang amat payah.

“Ran, boleh gak sih gue gagal? Selama ini, gue selalu berusaha keras biar gak gagal. Karena kalau gue gagal, pikiran gue kacau, gue mendadak merasa seperti manusia terbodoh di dunia,” ujar Ratu seraya mengacak-acak rambutnya.

“Terus gue makhluk terbodoh sealam semesta gitu?” Pangeran menatap Ratu kesal, tapi kembali tertawa lagi. “Lo emang jangan berpuas diri sama apa yang udah lo dapet biar ke depannya lo tetap berusaha. Tapi, di sisi lain, lo juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Salah sekali-dua kali wajar, lo manusia, Ratu.”

“Gimana gue mau memaafkan diri sendiri ketika kakak gue pun marah sama itu? Sekalinya nilai turun, waktu belajar gue terus ditambah, dijejelin banyak rumus sampai kepala gue rasanya mau meledak tau.”

Pangeran menatap Ratu yang jarang sekali bercerita tentang kehidupan pribadinya, apalagi mengeluhkan hal yang Pangeran pikir tidak ada kata mengeluh dalam kehidupan Ratu yang selalu mendapat nilai dan peringkat tertinggi.

“Gue gak bisa ngasih saran apa pun. Dari situasinya aja kita beda banget. Gue ngeluh karena pelajarannya susah. Lah, kalau lo ngeluh karena capek nilainya bagus terus,” papar Pangeran berusaha memahami apa yang Ratu rasakan.

“Gue gak capek dapet nilai bagus terus ya!” sangkal Ratu tidak setuju dengan simpulan yang Pangeran buat.

Pangeran tertawa melihat Ratu yang kesal dengan ucapannya. “Ya habisnya lo dikasih otak pinter begitu bukannya bersyukur, malah ngeluh takut gagal. Lo harus percaya diri tau, tapi dikontrol juga biar gak kepedean, terus nantinya jadi sombong.”

“Serius gue nanya, lo pernah gak sekali aja dimarahin karena nilai lo jelek?” tanya Ratu terlihat sangat penasaran.

“Nggak dimarahin sih, paling diledekin sama Raja,” Bola matanya memutar kesal, “tapi ledekinnya bercanda sih, gak mem-bully gitu. Tapi tetep aja gue kesel.”

“Keluarga lo pasti seru, ya?”

Pangeran menoleh pada Ratu yang entah sejak kapan menatapnya.

“Kalau gue …,” Ratu menunduk perlahan. “Kak Juna baik kok, cuma … tuntutan dari dia emang cukup memberatkan bagi gue.”

“Kita gak pernah minta mau dilahirkan dari keluarga mana. Keluarga gue yang lo pikir seru itu, ada kok masalahnya sampai bikin gue berpikir kenapa gue harus berada dalam keluarga yang begitu. Kadang gue iri liat Bang Juna yang merhatiin banget adiknya biar belajarnya fokus. Gue gak bermaksud menyalahkan abang-abang gue yang tidak terlalu menjadikan itu prioritas utama, cuma kadang kalau gue udah pasrah banget sama pelajaran yang susah, gue selalu tiba-tiba nyalahin mereka yang gak sepinter dan sepeduli Bang Juna.” Pangeran menarik buku yang Ratu buka tanpa membacanya, ia membalik halaman asal. Ada noda basah di sana.

“Lo nangis, ya? Gue suka bingung sih. Di satu sisi, kadang gue pengin bilang, nangis aja gapapa. Lo harus melampiaskan emosi lo, jangan diredam terus. Tapi, kadang gue pengin bilang, lo jangan nangis, lo harus kuat. Pada intinya adalah gue cuma mau bilang kalau semua perasaan lo valid. Lo boleh ngeluh, lo boleh merasa capek. Gapapa, semua itu wajar karena lo manusia biasa, bukan … Superman.” Tawa Pangeran pecah kala mengucapkan Superman. Entah dari mana ia kepikiran perkataan Sultan yang mengaku dirinya Superman.

Bukan hanya Pangeran, Ratu juga tertawa mendengar kata terakhir yang Pangeran ucapkan. Ya, Pangeran berhasil menghibur Ratu yang sedari tadi nampak muram. Meskipun tidak dapat menghilangkan bebannya, setidaknya ia bisa membuat Ratu menghadapi masalahnya dengan keadaan hati yang sedikit lebih baik.

“Gue gak nyangka lo bisa punya pikiran sedewasa itu, Ran. Jujur, karena kesan pertama gue ketemu lo waktu di kafe itu, gue pikir lo emang agak kekanakan. Makanya, selain karena Raja, gue gak pernah kepikiran buat buka hati gue sama lo karena gue takut lo gak bisa memimpin sebuah hubungan,” ungkap Ratu mengatakan hal yang selama ini menjadi alasan mengapa responsnya pada Pangeran kurang baik.

Pangeran tersenyum bangga mendengar ucapan Ratu, meskipun sedikit kecewa karena dinilai tidak bisa memimpin sebuah hubungan. Namun, tetap saja, dipuji Ratu membuatnya senang dan hatinya berdebar.

“Andai gue ketemu sama lo lebih awal …,” Pangeran memandang ke sembarang arah, yang pastinya bukan memandang Ratu. “mungkin kita bisa — ”

“Gue gak suka berandai-andai, Ran,” sela Ratu tak mau mendengar ucapan Pangeran sampai selesai. “Gue ketemu Raja, pacaran sama dia, terus putus. Lalu, gue ketemu Kak Sultan, suka sama dia, sampai gue ketemu sama lo. Gue gak menyesali apa pun. Gue bersyukur bisa kenal sama kalian bertiga.”

Pangeran mengangguk-angguk meski ia kecewa Ratu memotong ucapannya yang ingin membayangkan apa yang akan terjadi andai Ratu bertemu dengannya lebih dulu sebelum dengan Sultan atau pun Raja. Apakah situasinya akan berubah? Apa Ratu akan menyukainya? Sayangnya, hanya sekadar berandai pun Ratu tak mengizinkan.

“Ternyata lo emang gak pernah kepikiran buat suka sama gue, ya?” Pangeran menatap Ratu dengan sisa harap yang nyaris tidak ada.

Sayangnya, Ratu langsung menggeleng. “Setelah gue tau lo adiknya Raja sama Kak Sultan, gue gak ada kepikiran buat suka sama lo sih, maaf.”

Retak, hancur, berantakan. Pangeran tahu akan patah hati, tapi tidak menyangka akan sesakit ini. Mendengar kalau Ratu sama sekali tidak pernah mempertimbangkan perasaannya, benar-benar di luar dugaan. Ternyata sejak awal ia memang tidak memiliki kesempatan sedikit pun.

“Berarti, ini waktunya gue mundur. Ratu, gue suka sama lo. Gue baru merasakan jatuh cinta lagi setelah Putri gak ada itu ya sama lo. Mungkin kita emang gak ditakdirkan untuk punya perasaan yang sama. Jadi, gue gak akan ngejar lo lagi. Gue bakal lupain lo kok, janji. Tapi, pelan-pelan aja ya?” Pangeran mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan untuk menutupi perasaannya yang sudah dibuat berantakan.

“Maaf ya, gue gak bisa bales perasaan lo. Justru sekarang gue malah kepikiran mau balikan sama Raja,” ujar Ratu membuat Pangeran menatapnya terkejut. “Udah sih gue ajak dia balikan, tapi dia gak mau.”

“Bukan karena gue, kan?” Pangeran memastikan kalau bukan dirinya yang menghalangi hubungan Raja dan Ratu. Kalau benar, ia akan merasa bersalah.

Ratu menggeleng cepat. “Gimana ya bilangnya? Mau liat chat-nya gak?” tawarnya seraya membuka kolom chat bersama Raja.

“Nggak!” tolak Pangeran tegas. “Lo mau bikin gue yang udah patah hati ini makin hancur?”

Ratu menutup mulutnya yang tidak sengaja menganga. “Maaf.”

“Udah ya. Gue mau bikin perjanjian. Kita temenan, tapi lo gak boleh bahas soal perasaan. Trauma soalnya, gue gak akan lo kasih kesempatan juga.” Pangeran mengulurkan tangan.

Ratu menjabat tangannya tanpa ragu. “Oke, setuju.”

Pangeran mengangguk malas. Begitu mudahnya Ratu menyetujui, padahal ia berharap Ratu akan menolak dan memberinya kesempatan untuk mendapat balasan perasaan darinya. Sayangnya tidak semudah itu.

“Kakak kita kan temenan. Jadi, kita temenan juga lah,” ujar Ratu mengutarakan alasan seraya melepas jabatan tangannya yang tidak segera dilepas oleh Pangeran.

“Oke.”

--

--

Kev

Welcome to Kevlitera, an archive for Kev's Story.