Nightmare

Kev
5 min readMay 30, 2024

--

Kananta berguling-guling di atas kasur yang terasa lebih luas dari biasanya karena tidak ada Sean. Ia masih kepikiran dengan Sean yang akan memproduseri single comeback-nya Naufan setelah hiatus tiga tahun sebagai penyanyi. Ia amat takut kalau suatu saat Sean tahu bahwa Naufan-lah mantan kekasih yang membuat Kananta depresi hingga ingin menghilangkan nyawa empat tahun lalu.

Empat tahun lalu, setelah hubungan keduanya pun berjalan selama empat tahun, Naufan memaksa ingin putus dengan mengaku sudah memiliki anak dari wanita lain. Naufan pergi meninggalkan Kananta dengan dalih ingin bertanggung jawab atas perbuatan kotor yang telah ia lakukan, padahal saat itu keduanya sudah bertunangan dan tengah merencanakan pernikahan. Siapa yang tidak patah hati kalau sudah begitu? Ketika keduanya memupuk hubungan selama empat tahun dengan cinta, lantas salah satunya malah melakukan pengkhianatan sekeji itu.

Kananta benar-benar depresi hingga ia tidak ingin bertemu dengan siapa pun, tidak memercayai lelaki mana pun selain ayahnya sendiri. Setiap sudut tempat yang dilaluinya terlalu penuh dengan kenangan yang mereka habiskan selama empat tahun berpacaran.

Malam itu jalanan kota cukup ramai. Banyak kendaraan yang berlalu lalang dengan suara klakson yang saling beradu seakan tidak ada lagi hari esok untuk menghabiskan sisa hari libur. Dengan pikiran yang sudah kosong dan putus asa, Kananta membelah jalanan dengan langkah sembarang tanpa memerhatikan kendaraan di sekitar sebelum menyeberang. Ia melangkah lambat dengan tatapan yang entah tertuju ke mana. Lantas, Kananta mendengar lengkingan klakson serta teriakan orang-orang di sekitarnya. Kananta menulikan telinganya saat itu. Ia tidak peduli apakah hari esok ia masih harus bertahan hidup? Untuk apa? Seseorang dengan peran paling penting untuk masa depannya sudah pergi meninggalkannya.

Malam ketika bulan tengah sabit, dengan lampu-lampu jalanan yang sudah meredup, tubuhnya terasa amat ringan terlempar ke bahu jalan. Kepalanya terbentur amat keras dan darah segar mengucur. Sebelum kehilangan kesadaran, Kananta tersenyum. Hatinya terasa lega. Ia tak perlu mengkhawatirkan masa depan lagi, bukan?

Kananta terkesiap. Matanya terbuka lebar. Keringat dingin bercucuran dari pelipis. Apakah ia bermimpi? Mengapa rasanya amat nyata? Kananta meraba-raba ke samping, mencari guling kesayangannya yang menghilang dari pelukan. Dengan napas yang tak beraturan, ia memeluk gulingnya erat-erat. Mengapa ia harus memimpikan malam di mana nyawanya hampir direnggut?

Dengan tangan yang gemetaran, ia meraih ponsel, segera mencari nomor suaminya. Sekarang sudah pukul tiga pagi. Ia tahu betul akan mengganggu waktu istirahat Sean. Akan tetapi, ia tak tahu harus menghubungi siapa. Jantungnya berdebar sangat cepat, napasnya terasa sesak. Ia benar-benar ketakutan.

Begitu terdengar nada sambung, ia memegang erat-erat ponsel dengan seluruh tubuh yang ia balut dengan selimut.

“Nan, kenapa telfon? Ada apa?”

Begitu mendengar suara Sean di seberang sana dengan nada bicara yang terdengar cemas, air matanya mulai mengalir.

“Mas …, aku mimpi buruk.” Kananta mengadu dan merengek seperti anak kecil pada suaminya.

“Mimpi buruk apa, Nan? Tenang ya, tenang. Coba minum dulu. Jangan panik, oke? Itu cuma mimpi,” ujar Sean dengan suara terdengar yang amat lembut di telinga.

“Mas …,” Kananta menangis sesenggukan. Suaranya terputus-putus karena isakannya. “a-aku mimpi waktu … waktu kecelaka … an. Aku … t-takuut.” Kananta hanya bisa mengeratkan pelukannya pada guling, berharap Sean yang bisa ia peluk untuk membuatnya tenang.

“Gue pulang sekarang, Nan.”

“Eh, eh, gak perlu, Mas. Aku cuma … halo?” Suara Sean menghilang. Saat Kananta cek, ternyata panggilannya sudah terputus. Bukannya tenang, justru sekarang Kananta jadi mencemaskan Sean. Pasti dia pulang dengan terburu-buru dan panik, kan? Apalagi Sean pasti baru bangun karena panggilan telepon dari Kananta. Kalau ia langsung berkendara, ia takut Sean tidak fokus.

Kananta menurunkan selimut dan terduduk sambil memeluk lutut. Pandangannya tertuju pada ponsel yang ia pegang seraya memperkirakan waktu tempuh yang Sean butuhkan untuk sampai di rumah dengan selamat. Biasanya, Sean perlu waktu 20 menit ke apartemen Junario kalau berkendara dengan kecepatan normal. Sudah terhitung sepuluh menit sejak panggilannya terputus. Kananta makin dibuat cemas kala Sean tidak mengangkat panggilan teleponnya saat ini. Apakah Sean tengah fokus berkendara? Ia benar-benar takut.

Pada akhirnya, Kananta merutuki dirinya sendiri yang terlalu bergantung pada Sean. Mengapa Kananta tidak kembali tidur saja ketimbang menghubungi Sean hanya karena sebuah mimpi? Kenapa sepanjang hidupnya, sejak pertemuan pertama hingga usia pernikahan yang sudah memasuki tahun keempat, ia tidak pernah berhenti merepotkan Sean?

Kananta segera berlarian keluar kamar begitu mendengar suara mobil Sean yang memasuki pekarangan rumah. Dua belas menit. Ya, Sean sampai dalam dua belas menit. Ia yakin Sean mengebut demi memangkas waktu perjalanan.

Kananta membuka kunci pintu dengan tergesa dan membukanya lebar-lebar. Sean berlari kecil dan menghampiri Kananta seraya merentangkan tangan. Bukannya tersenyum bahagia, air mata Kananta tergenang begitu saja. Ia dapat melihat dengan jelas wajah Sean yang menahan kantuk dengan rambut yang sedikit berantakan.

“Nan,” Sean mendekap Kananta seraya mendorongnya masuk dan mengunci pintu. “gue di sini sekarang. Maafin gue ninggalin lo sendiri di rumah.”

Kananta melingkarkan tangannya di tubuh Sean. Ia hanya bisa menangis saat ini. Bukan karena mimpi buruknya lagi, tapi karena Sean yang rela pulang pada dini hari, mengabaikan waktu tidurnya yang terganggu, demi menenangkan Kananta yang ketakutan hanya karena mimpi buruk.

“Mimpinya serem, ya? Gapapa kok, Nan. Itu cuma mimpi.” Tangan Sean mengusap-usap punggung Kananta untuk menenangkan tangisannya yang semakin mengeras.

“Jangan tinggalin aku ya, Mas,” ucap Kananta di dalam pelukan. Matanya terpejam merasakan pelukan teraman yang ia rasakan setelah sang ayah.

“Enggak, gue gak akan tinggalin lo lagi, Nan. Maafin gue ya? Seharusnya gue langsung pulang ke rumah.” Sean melerai pelukan dan menatap wajah Kananta yang sudah basah dengan air mata. “Nan, gue gak akan ke mana-mana lagi, oke?”

Kananta mengangguk pelan, lantas Sean merangkul pinggangnya. “Kita lanjut tidur, ya?” bujuknya dengan suara yang amat lembut seperti membujuk anak kecil yang sulit berhenti menangis.

Keduanya berjalan beriringan menuju kamar tidur. Seperti biasa, Sean menaruh guling di antara keduanya sebab Kananta sangat menyukai posisi begitu. Namun, kali ini Kananta menyingkirkannya. Ia bersandar di dada Sean untuk mendengar debaran jantungnya. Mengikis jarak agar dapat memeluknya lebih dekat.

“Mas.”

“Iya, Nan?”

“Makasih.”

Sean membelainya dengan hati-hati seperti sedang menidurkan bayi. “Gue yang makasih karena lo langsung hubungin gue. Gue gak bisa bayangin kalau lo sendirian, terus gak bisa tidur lagi karena takut. Gue gak tau semenakutkan apa mimpi lo, tapi itu cuma mimpi ya, Nan. Ada gue sekarang di sini, lo gak perlu takut lagi. Lo bisa peluk gue semalaman sepuas lo.”

Benar, Kananta tidak perlu takut lagi sekarang. Persis seperti yang Sean katakan, bagi Kananta pun dunia terasa baik-baik saja kalau ada Sean di sisinya. Ia bersyukur masih diberi kesempatan hidup untuk dicintai dan dilindungi oleh orang yang benar-benar tulus seperti Sean.

Since day one, you always cared about me even when we were just two strangers. Thanks for being Sean in Kananta’s fragile life. Without you, Kananta’s life might have stopped four years ago.

--

--

Kev

Welcome to Kevlitera, an archive for Kev's Story.