Meninggalkan.

Kev
4 min readMay 27, 2024

--

“Kananta Naradipta.” Sean menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Kananta. Pasalnya, kini keduanya sudah berbaring saling berhadapan dengan guling kesayangan Kananta yang berada di tengah-tengah keduanya.

“Kenapa, Mas?” Kananta menatap Sean heran tiba-tiba memanggilnya begitu.

Sean menggeleng, ia tersenyum tipis menatap istrinya. “Waktu lo gak ada, gue peluk guling ini karena wanginya sama kayak lo.”

Kananta tergelak. “Masa sih?” Ia mencium aroma guling tersebut, lantas menggeleng. “Enggak ah.”

“Tau gak, Nan? Gue kan bilang gak pernah kangen sama lo karena kita ketemu terus. Nah, pas kemarin lo pergi, gue beneran kangen sama lo,” ujar Sean segera mendapat cubitan gemas di hidungnya.

“Iya, yang kangen, rewel banget sih minta dikabarin terus.” Kananta mencubit hidung Sean sampai memerah, tapi Sean tidak protes, hanya senyum-senyum malu.

“Gue jadi kepikiran sama … kita.” Sean menatap Kananta lurus-lurus, agak ragu untuk membahasnya.

“Kita? Kenapa kita?” tanya Kananta penasaran.

Sean yang semula menghadap Kananta, kini memandangi langit-langit kamar. “Ternyata, kita udah empat tahun bareng-bareng.”

“Terus?”

“Gue udah terbiasa sama lo yang selalu ada di sekitar gue. Pas lo tiba-tiba ngilang, gue baru merasa kehilangan lo. Ternyata, lo penting di hidup gue, Nan. Makasih ya udah mau bertahan sampai saat ini.” Sean meraih tangan Kananta dan membandingkan dengan tangannya yang jauh lebih besar, lantas menggenggamnya.

Kananta hanya memandangi Sean yang bermain-main dengan tangannya, membandingkan ukuran jari-jarinya satu per satu, lalu menggenggamnya erat.

“Kamu kenapa, Mas? Kok tiba-tiba bahas itu?” tanya Kananta tak paham arah pembicaraan Sean.

Sean menggeleng dan segera membuang muka, ia tak ingin air matanya yang tergenang tiba-tiba menetes. “Lo liat kan gimana gue uring-uringan waktu lo ninggalin gue kemarin?”

Hmm.” Kananta hanya bergumam.

Sean kembali menatap ke arah Kananta. “Kalau gue yang ninggalin lo … gimana?”

Kananta terdiam tiba-tiba mendengar pertanyaan Sean. Ia mengerti mengapa Sean bertanya begitu. Mungkin Sean takut mencintai sendirian, dan bertanya untuk memastikan apakah dirinya akan merasakan hal serupa kalau suatu saat ditinggalkan?

Pandangan Sean terfokus pada Kananta, menunggu jawabannya dengan hati berdebar sebab tampaknya Kananta perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu. Sementara itu, Kananta tiba-tiba kepikiran dengan Naufan, mantan kekasihnya yang tiba-tiba menghubungi lagi. Ia tidak berniat kembali padanya. Hanya saja, ia takut suatu saat Sean akan meninggalkannya andai tahu Kananta saling berbalas pesan dengan Naufan.

“Kenapa mikirnya lama banget?” Sean tampak cemberut karena Kananta tidak kunjung memberinya jawaban. “Lo gak cinta ya sama gue? Lo gak masalah ya kalau suatu saat gue tinggal?”

Sontak Kananta terkejut Sean mempertanyakan jawaban yang belum ia katakan. “Bu-bukan begitu.”

“Terus kenapa lo lama banget jawabnya?”

Kananta menatap ke sembarang arah, sebisa mungkin menghindari tatapan Sean. “Karena … aku yakin kalau … Mas Sean gak akan ninggalin aku, kan?” Ia tersenyum kaku, berharap Sean mengerti maksudnya.

“Iyalah, gue gak akan pernah ninggalin lo. Gak kayak lo ya, ninggalin gue tiga hari, terus susah dihubungin. Gak akan pernah gue izinin lagi buat pergi-pergi begitu,” gerutu Sean mencecar semua keluhannya tanpa ragu.

Kananta tergelak. “Iya, iya, aku minta maaf, Mas. Kan aku bukan liburan di sana, jadi gak bisa pegang hp terus,” ujarnya seraya menepuk-nepuk kepala Sean seperti anak kecil.

“Gue gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain lo, Nan. Cuma lo.” Sean memeluk Kananta dengan susah payah sebab ada guling di antara keduanya. “Waktu lo gak ada kemarin, gue keinget awal-awal tahun pernikahan kita. Sakit banget, Nan. Gue beneran bangga sama lo bisa bertahan sampai saat ini. Lo rapuh, selalu bikin gue takut besoknya kita gak ketemu lagi. Gue ….”

Kananta menyingkirkan guling dan membuangnya hingga terjatuh ke lantai. Ia mendekat dan segera memeluk Sean. “Aku gak akan ke mana-mana kok, Mas. Kenapa kamu tiba-tiba kepikiran kayak begini sih? Ada apa, hm?”

Sean menarik Kananta lebih dekat, ia menaruh dagu di atas kepalanya. “Gue takut belum milikin hati lo sepenuhnya, Nan. Gue takut cuma gue yang punya perasaan ini. Gue takut … suatu saat lo ninggalin gue. Gue gak pernah kepikiran ini sebelumnya, tapi setelah lo pergi kemarin, gue makin takut, Nan. Entah ninggalin gue karena kematian, atau … lo ninggalin gue karena cowok lain.”

Pelukan Kananta mengerat, meremas belakang pakaian Sean agak kencang karena ia benar-benar merasa bersalah karena berhubungan lagi dengan mantan kekasihnya.

“Ke-kenapa, Nan? Lo jangan kenceng-kenceng meganginnya elahh, gue kecubit.” Sean mencoba melepas cengkeraman tangan Kananta di punggungnya. Setelah lepas, bukannya menjauh, Kananta menenggelamkan wajah di dada bidang milik Sean.

“Mas …, aku gak tau alasan kamu bahas ini. Tapi, udah ya, udah, jangan diterusin. Aku gak akan ke mana-mana. Aku akan selalu ada di samping kamu. Maaf kalau kepergian aku selama tiga hari itu bikin kamu ragu, tapi udah jangan dibahas lagi. Aku makin merasa bersalah, Mas. Rasa takutmu itu gak berdasar karena selama empat tahun ini aku gak pernah ada niatan buat ninggalin kamu. Udah ya, Mas. Udaaah, aku capek,” jelas Kananta dengan suaranya yang gemetar dan terdengar isakan juga.

“Oke, gue berhenti. Maaf ya.” Sean mengusap-usap punggung Kananta untuk menenangkan. Pembicaraan malam ini ternyata tidak berjalan baik, justru malah membuat pihak lain merasa terluka. Entah Kananta atau Sean, hanya keduanya yang tahu.

--

--

Kev

Welcome to Kevlitera, an archive for Kev's Story.