I wanna be alone, but you can stay

Kev
6 min readMay 26, 2024

--

Sean berangkat ke agensi lebih pagi dari biasanya hanya untuk bisa tertidur. Di rumah, ia tidak bisa tertidur dan baru bisa terpejam pukul 4 pagi, itu pun tidak begitu nyenyak. Saat membuka mata, ia tidak menemukan Kananta di sebelahnya. Maka berarti, ia tidak mimpi soal tuduhan plagiat itu, dan Kananta benar-benar pergi selama tiga hari meninggalkannya.

Sampai di studio, Sean merebah di sofa, berharap bisa tidur sebentar ketimbang membaca lagi komentar negatif yang hanya akan membuat harinya makin berantakan. Namun, baru saja ia akan terlelap, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Karena malas beranjak, Sean membiarkan saja sampai orang itu pergi. Tapi ternyata tidak, pintunya malah terbuka tanpa sempat Sean persilakan.

“Kenapa gak dibuka sih? Gue gedor-gedor juga,” protes si pengetuk pintu yang tak lain adalah Arkan, manajer dari Junario.

“Mau ngapain sih lo? Gue bilang jangan temuin gue dulu atau lo kena amukan gue. Gue butuh waktu sendiri,” gerutu Sean yang masih berbaring dengan salah satu lengan yang dipakai untuk menutupi matanya agar tidak silau dengan cahaya lampu.

“Mas Sean, ini aku.”

Sean terperanjat kaget begitu mendengar suara yang selama tiga hari ini menghilang. Ia duduk dengan terburu-buru dan memastikan pendengarannya tidak keliru. Sean mengucek matanya berkali-kali, memastikan apa yang ia lihat bukan hanya halusinasi.

“Iya, ini aku, Nanta. Maaf aku gak bilang mau ke sini,” ujar Kananta, orang yang Sean rindukan bahkan sejak beberapa jam baru ditinggal pergi.

“Kan.” Sean berisyarat dengan matanya agar Arkan keluar meninggalkan mereka berdua.

Arkan mengangguk paham dan segera keluar. Sebenarnya, selain pada Junario, semua orang mengkhawatirkan kondisi Sean yang tidak bisa diajak bicara sejak berita itu beredar di mana-mana. Sean mendadak menutup diri dan sulit diajak bicara. Makanya, Arkan berharap kehadiran Kananta bisa membuat Sean lebih baik.

Sean memandangi sang istri dari ujung kaki hingga kepala, lalu berhenti tepat di wajahnya yang kebingungan ditatap seperti itu olehnya. Lantas, Sean menggeser duduknya, menepuk-nepuk bagian kosong di sebelahnya untuk Kananta duduki.

Kananta menurut dan duduk di samping Sean. Lalu, Sean membaringkan kepala di pangkuan istrinya sampai membuat Kananta terkejut.

“Nan, jangan ajak gue bicara apalagi tanya kabar karena pasti gue gak baik-baik aja, apalagi tanpa lo di samping gue,” ujar Sean seraya meraih tangan Kananta, menggenggam dan menaruhnya di dada.

Kananta mengangguk seraya mengelus kepala Sean dengan tangannya yang lain. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ruangan ini amat sunyi dan hanya ada mereka berdua. Kananta tidak memiliki topik untuk dibicarakan sebab sudah dilarang duluan oleh Sean.

Dengan elusan lembut dari Kananta, Sean terpejam perlahan. Rasa kantuknya datang begitu saja, padahal semalam ia hanya bisa tidur selama satu jam, lalu terjaga hingga pagi dan datang ke studio dengan keadaan yang kacau.

“Nan, jangan pergi lagi, ya? Dunia gue kacau tanpa lo,” tutur Sean tanpa membuka mata. Lantas, ia mencium punggung tangan Kananta yang ia pegangi. “Gue gak mau ketemu orang, gue selalu pengin sendiri. Gue benci sama tatapan orang-orang yang percaya sama tuduhan itu dan mata mereka memperlihatkan kebencian karena sesuatu yang gak gue lakuin.”

“Jangan terlalu dipikirin ya. Mereka gak tau atau mungkin gak mau tau kebenarannya. Mereka cuma manfaatin momen buat bikin kamu terpuruk,” ujar Kananta memandangi pahatan wajah sang suami yang berada di pangkuannya. Tiga hari ini, sosok yang selama empat tahun berada di sisinya menghilang. Bohong kalau Kananta tidak merindukan suaminya. Namun, sangat disayangkan Sean harus mengalami masalah ketika Kananta tidak ada. Ia sangat bersalah akan hal itu.

“Nan …,” Sean menatap Kananta agak lama. Merekam baik-baik wajah itu di ingatan, “jangan pergi ke mana-mana, ya?”

Kananta menganggukkan kepala sambil tersenyum menahan tawa sebab Sean tampak ketakutan ditinggal pergi lagi. “Iya, aku di sini kok.”

“Lo gak percaya kan sama berita itu?” tanya Sean dengan perasaan cemas sebab terakhir kali Kananta mempertanyakannya seolah percaya pada berita yang beredar.

Kananta menggeleng pelan. “Aku percaya sama kamu,” jawabnya dengan suara yang pelan nyaris berbisik. Entah mengapa, Sean yang ia lihat saat ini terlihat rapuh dan lemah hingga Kananta tak berani untuk sekadar berbicara dengan keras.

Sudut bibir Sean terangkat. Ia tersenyum lega mendengar jawaban Kananta. “Lo inget kan gue pernah bilang walau dunia hancur sekalipun, semuanya terasa baik-baik aja kalau ada lo? Itu sudah sangat mewakili keadaan gue sekarang, Nan. Semua beban pikiran gue mendadak hilang setelah lihat lo lagi.”

Kananta tertawa kecil mendengar Sean yang kini semakin terbuka dengan perasaannya. Mungkin Sean mulai mengerti bahwa Kananta sering ragu dengan perasaan yang Sean miliki untuknya karena jarang mengatakannya. Memang sedikit aneh melihat Sean yang tiba-tiba berubah begini, tapi Kananta senang karena Sean memahami keraguannya dan berusaha untuk menghilangkan ragu itu.

“Nan, mulai hari ini, ayo kita jujur sama perasaan kita. Kalau kangen ya bilang aja kangen, kalau kesel bilang kenapa alasannya. Kalau marah jangan ajak ngomong dulu kalau gak mau kebentak, kalau ….” Sean menengadah, menatap Kananta yang tengah mendengarkannya. Tangan Sean meraih tengkuk Kananta agar semakin dekat padanya. Kala ia akan mengangkat wajahnya agar lebih dekat, justru Kananta yang menyambut bibirnya lebih dulu. Kananta hanya menempelkan bibirnya agak lama, membuat Sean menunggu dengan sabar apa yang akan Kananta selanjutnya, tetapi tiba-tiba setetes air mata jatuh pada pipinya. Kananta menangis.

Sean yang semula terpejam membuka mata, menatap Kananta yang amat dekat dengannya, perlahan menjauhkan wajah dan buru-buru menghapus air matanya. Lantas, Kananta buru-buru merogoh tisu dari tasnya dan segera mengelap air matanya yang menetes ke wajah Sean.

“M-maaf, Mas. Aku … aku minta maaf udah bikin kamu jijik karena ketetesan air mata ak — ”

Sean memegangi tangan Kananta agar berhenti mengelap wajahnya, lalu ia bangun dari pangkuan Kananta. Matanya tampak memerah sekarang. “Kenapa, Nan? Kenapa nangis?”

“Kamu bener, Mas. Harusnya aku gak pergi, harusnya aku bareng kamu aja. Maafin aku,” ujar Kananta berusaha menyeka air matanya yang makin mengalir.

“Kenapa, Nanta? Bilang sama gue, ada apa? Ada yang jahat sama lo? Please, ngomong, Nan,” bujuk Sean mengintip wajah Kananta yang menunduk menyembunyikan tangisannya.

Kananta menggeleng cepat. “Kamu yang lebih banyak dapet omongan jahat daripada aku. Harusnya aku udah biasa kan, Mas?” Suara Kananta terdengar gemetar karena tangisan yang ia tahan.

Udah biasa? Pikiran Sean tidak ke mana-mana lagi selain soal anak. Benar, kan? Kananta pasti menerima pertanyaan itu lagi saat berkunjung ke rumah ibunya kemarin. Tanpa bertanya untuk memastikan dugaannya benar, Sean langsung mendekapnya dan tangisan Kananta pecah saat itu juga.

“Mas, maaf kalau kamu bosen denger ini,” tutur Kananta di dalam dekapan Sean yang kini semakin mengerat.

“Bukan bosen, Nan, gue udah di tahap muak denger orang yang nanyain itu sama kita,” Sean melepas pelukannya sebentar untuk menatap Kananta yang wajahnya sudah basah dengan air mata, bahkan meninggalkan noda basah di pakaiannya juga, “tapi sekali-kali lo marahin aja mereka, ya? Lo nyolot aja sekalian. Kasih tau kalau hidup lo juga udah bahagia kok sekarang. Bukannya gak mau berusaha, tapi kita nunggunya sambil bersyukur sama yang udah kita punya. Seperti punya suami ganteng misalnya.”

Sean tersenyum lebar seraya menyeka air mata Kananta dengan ibu jarinya. “Bagi gue, lo aja udah cukup. Kita memang belum punya anak, tapi gue gak merasa kekurangan apa pun. Lo ngilang tiga hari aja gue udah hampir gila, Nan,” ujarnya seraya memeluk kembali sang istri yang sudah tersenyum mendengar ucapannya.

“Jantungnya … jantungnya ….” Kananta melepas pelukan tiba-tiba seraya menunjuk dada Sean. “Jantungnya berisik banget. Kamu salting ya?”

Sean membuang mukanya segera. “Jangan begitulah, Nan.”

“Kedengeran loh, Mas. Cepet banget detakannya,” jelas Kananta membuat Sean beranjak menuju kursi kerjanya.

“Jangan bikin gue malu ah,” cerca Sean seraya menyalakan komputernya.

“Dih, istrinya berkunjung malah ditinggal kerja,” sindir Kananta membuat Sean memutar kursi untuk menghadap ke arahnya.

“Siapa suruh datengnya jam segini? Terus lo mau ngerecokin gue kerja, gitu? Mau duduk di pangkuan gue di sini?” tanya Sean seraya menepuk-nepuk pahanya.

Kananta tampak berbinar. “Boleh, Mas?”

“Nggaklah, yang bener aja,” tolak Sean seraya memutar kembali kursinya menghadap komputer, sepertinya ia salah bicara.

Kananta pun terbahak, senang mengerjai suaminya yang langsung panik begitu. “Aku di sini aja liatin kamu kerja. Kan kamu bilang aku cuma diizinin pergi tiga hari, dua harinya bareng kamu,” papar Kananta segera mendapat acungan jempol dari Sean tanpa menoleh ke belakang.

Bukannya tak mau menoleh. Diam-diam, Sean tersipu malu dengan ucapan Kananta barusan. Suasana hatinya berubah seketika. Kalau tidak malu, mungkin Sean sudah melompat-lompat kegirangan dengan kembalinya Kananta hari ini.

--

--

Kev

Welcome to Kevlitera, an archive for Kev's Story.