Batasan Masa Lalu

Kev
10 min readJun 19, 2024

--

Rumah. Satu-satunya tempat teraman yang ia punya, tapi kini rasanya menakutkan melihat bangunan itu. Kananta melangkah ragu setelah melihat mobil sang suami terparkir di garasi. Dia sudah pulang sore ini. Biasanya harus menunggu sampai hari gelap. Kemarin sore di waktu yang sama, Sean menyambutnya dengan hangat sepulang dirinya mengantar sang adik. Namun, keadaan berubah drastis. Kini, Sean akan menghakiminya mengenai Naufan.

Kananta tak pernah siap membicarakan soal Naufan. Ia tak pernah mau menyaksikan reaksi Sean kalau tahu bahwa Naufan-lah mantan kekasih Kananta yang sudah membuat hidupnya berantakan saat pertama kali bertemu dengan Sean. Kananta takut dengan kemarahannya. Kananta takut ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang sanggup membuatnya kembali bangkit dan menjalani hidup dengan normal. Ia tak mau kehilangan Sean, tapi yang ia lakukan malah menghilangkan kepercayaannya.

Kananta berhenti tepat di depan pintu. Tangannya memegangi gagang pintu dengan sedikit gemetar. Ia tak tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Ia tak bisa menebak apa yang akan Sean lakukan nantinya. Kananta hanya berusaha menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk meskipun pada nyatanya ia tak pernah siap untuk kehilangan Sean.

Pinta terdorong ke dalam. Kananta melangkah amat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara agar Sean tidak menyadari kalau ia sudah pulang. Ia berjalan mengendap-endap seperti pencuri hingga alunan piano mulai terdengar ke seluruh penjuru rumah yang sunyi. Sean memainkan melodi itu lagi. Melodi yang selalu ia mainkan kalau sedang stres, marah, dan tidak mau bicara pada siapa pun. Kananta sudah hafal dengan melodi itu.

Kakinya melangkah menuju kamar tidur, tapi melihat ruang kerja di sampingnya terbuka sedikit, membuatnya penasaran dengan Sean. Suara piano sudah tidak terdengar lagi, tetapi Sean pun tidak bersuara.

Meski tak yakin seperti apa suasana hati Sean sekarang, Kananta memutuskan untuk menemui Sean. Ia membuka pintu pelan-pelan seraya memanggil, “Mas … kamu udah pul — ”

“NAN!” Sean buru-buru mematikan komputer melihat Kananta masuk.

“Kok … dimatiin?” Kananta terkejut dengan Sean yang terlihat sedikit panik sampai buru-buru mematikan komputernya. Apa ada yang dia sembunyikan?

“Terserah gue,” sahut Sean dengan nada bicara yang lebih dingin.

Kananta tertegun. Ia sampai lupa kalau Sean pasti akan memulai perang dingin antara keduanya, dan Kananta selalu menyerah duluan. Ia tidak sanggup menghadapi Sean yang bersikap dingin padanya, apalagi akhir-akhir ini Sean melembut dan tidak ragu mengumbar kata cinta. Kananta tak tahan kalau hubungan keduanya berlangsung begitu terlalu lama.

Menyadari Kananta yang hanya diam, Sean berkata, “Penasaran? Gue abis liat foto pernikahan gue.”

Kananta tiba-tiba berdebar kencang mendengar ucapan Sean. Awalnya ia ingin tersenyum mendengar Sean melihat foto pernikahan, tapi ia langsung sadar dengan kalimat yang Sean gunakan. Pernikahan gue, bukan pernikahan kita. Lututnya melemas seketika, ia benci dengan pikirannya yang tidak bisa diajak berpikir positif kali ini saja.

Kananta menelan ludah dengan susah payah. Sean si suami clingy yang tak pernah tahan ditinggal lama-lama, kini mendadak menyeramkan. “P-pernikahan … kamu sama S-ser — ”

“Lo emang gak bakat buat selingkuh. Harusnya hp lo dikunci, gak biarin sidik jari gue bisa akses lagi. Terus aplikasi yang dipake buat selingkuh dikunci, notifnya dimatiin.” Sean bersidekap santai seraya menyalakan kembali komputernya.

Selingkuh? Apa Kananta tidak salah dengar? Suaminya sendiri menuduh dirinya selingkuh? Kalau memang Sean benar-benar membaca seluruh pesan Naufan, seharusnya Sean paham kalau Kananta selalu berusaha untuk mempertahankan pernikahan mereka, ia tak pernah mau diajak bertemu oleh Naufan.

Tetiba saja suara alunan musik yang tak begitu asing terdengar. Sean memutar sesuatu dari komputernya. Rasanya Kananta pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi ia tak tahu di mana sampai ada vokal yang amat familiar baginya. Itu suara Naufan.

Kepala Sean tampak mengangguk-angguk seirama dengan musik yang diputar, seolah menikmati nyanyian Naufan yang tak lain adalah single comeback yang dikerjakan olehnya. Kananta benci situasi ini. Kananta tak mau melihat sisi Sean yang ini. Menyebalkan, menuduh dirinya selingkuh, lalu sekarang memutar lagu Naufan yang jelas-jelas ditujukan untuk Kananta.

Kananta berbalik, bermaksud pergi. Namun, langkahnya terhenti begitu Sean mematikan musiknya dan berkata, “Gue kecewa sama lo, Nan.”

Kananta mengepal tangannya kuat-kuat, menahan diri agar tidak marah meski dadanya sudah terasa sesak. Air mata tiba-tiba tergenang hingga penglihatannya memburam. Ia bisa saja pergi dan tidak peduli dengan apa yang akan Sean katakan selanjutnya, tapi entah mengapa kakinya terasa amat berat untuk meneruskan langkah.

Sean memutar kursinya dan menghadap Kananta yang berdiri membelakanginya. “Lo sayang gak sih sama diri lo sendiri? Lo tau apa yang dia lakuin sampai lo udah gak mau hidup lagi gara-gara dia? Lo sadar kan kalau dia ninggalin lo demi wanita lain? Oke, dia ngakuin kalau dia cuma jadi korban buat abangnya yang berengsek itu. Tapi, bukannya itu lebih parah ya? Dia ninggalin lo demi wanita asing yang — ”

“CUKUP, SEAN!” Kananta berbalik dengan mata yang memerah karena air mata sekaligus geram dengan perkataan Sean yang terus membuka masa lalu yang susah payah ingin ia lupakan. “Soal Naufan itu urusanku! Masa bodoh kamu bilang aku gak sayang sama diri sendiri, aku gak peduli. Aku tau kamu marah lihat aku DM-an sama dia. Kamu boleh marahin aku, pukul aku kalau kamu anggap aku selingkuh. Aku emang tega sama diri sendiri, terus kenapa? Toh aku sendiri yang ngerasain sakitnya, aku sendiri yang hidupnya dibikin berantakan. Kenapa kamu yang repot?”

Sean menatap lurus-lurus pada Kananta yang meninggikan suaranya, bahkan menyebut namanya tanpa embel-embel mas seperti biasanya. Kananta benar-benar marah, ia menyadari itu. Meski begitu, hatinya benar-benar sakit melihat sang istri sampai sebegitunya membiarkan dirinya sendiri tersakiti lagi demi membela mantan kekasihnya.

“Aku gak pernah mempertanyakan lagi soal Sera sama kamu, kan? Aku pun gak bisa memastikan apakah kamu masih sering mikirin dia atau enggak, apa kamu sering berekspektasi lebih sama aku biar sama kayak Sera. Aku pun …,” Kananta terdiam sejenak untuk menenangkan diri, dadanya naik turun karena emosi, “aku … aku gak peduli kamu mandangin foto pernikahan kamu sama … dia. Kita sama-sama punya masa lalu, kita sama-sama punya orang yang sebelumnya pernah menjadi orang paling penting di hidup kita. Aku mohon, jangan lewati batas itu. Sejahat apa pun Naufan sama aku, tapi dia — ”

“Dia jahat sama lo. Cukup sampai di situ,” sela Sean seraya terbangun dari duduknya, melangkah mendekati Kananta yang mundur perlahan karena takut dengan Sean yang semakin dekat.

Kananta tak seberani itu menghadapi Sean kalau sudah marah. Mendengar bentakannya pun meski itu bukan untuk dirinya, ia sangat takut. Ia tertunduk, pandangannya tertuju pada tangan Sean yang terkepal. Apakah nantinya akan ada pukulan yang mendarat di bagian tubuhnya? Atau berupa tamparan yang membuat pipinya perih? Sepanjang empat tahun pernikahan, Sean tak pernah melakukan kekerasan fisik, tapi entah mengapa Kananta merasa kali ini bisa jadi Sean melakukannya. Ia sendiri amat menyesal karena sudah memanggil namanya secara langsung dengan nada bentakan. Kakinya mundur perlahan, ingin kabur, tapi ia yakin Sean akan mudah mengejarnya.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, tahu-tahu Sean sudah berada di hadapannya, membingkai kedua bahunya dengan cengkeraman yang erat. Kananta tertegun, ia menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur.

“Nan,” panggil Sean amat singkat, namun terasa amat dingin. “Tatap gue, Kananta.”

Kananta. Sean nyaris tak pernah memanggilnya selengkap itu. Kananta benar-benar yakin kalau dirinya akan menerima akibatnya karena telah berbalas pesan dengan Naufan.

“Ini perintah suami lo.” Sean mengangkat dagu Kananta dengan telunjuknya. Tatapan keduanya bertemu. Tak ada kehangatan dan cinta sama sekali. Tatapan Sean amat serius dan mengintimidasi. Apalagi kalau Sean sudah mengatakan soal perintah, seolah kalau Kananta tidak menurut, maka itu sebuah kesalahan fatal.

“Lo paham kan kenapa gue kecewa? Lo pasti ngerti kenapa gue marah baca DM lo sama dia? Gue merasa dikhianati, Nan. Tapi, apakah karena kemarahan itu bikin gue harus bentak lo, pukulin lo, bahkan tinggalin lo?” Sean mengguncang pelan bahu Kananta sebab tidak kunjung mendapat jawaban. Matanya terus mengejar pandangan Kananta yang terus menghindar. Air matanya sudah mengalir, tapi mulutnya masih bungkam.

“Apakah empat tahun sama gue belum cukup buat lo lupain dia, Kananta?!” Sean mendorong Kananta ke dinding, membuatnya terpojok dan tak bisa berlari ke mana-mana. “Ngomong, Nan, ngomong. Bilang kalau selama ini gue masih kurang perlakuin lo sebagai istri. Bilang itu sama gue biar gue paham kenapa lo ladenin dia!”

Kananta menunduk, tak sanggup mendengar Sean yang kini membentak tepat di hadapannya. Bahunya bergetar karena terisak. Ia lemah. Ia tak sanggup mendengar Sean yang membentaknya begini. Namun, meskipun begitu, ia tetap mengakui kalau memang ini adalah salahnya, makanya ia bertahan sekuat yang ia bisa. Anggap saja ini hukuman baginya.

Sean berbalik seraya meremas rambutnya frustrasi. Ia mengatur napas untuk menenangkan diri agar tidak meledak-ledak pada Kananta. “Lo tau gimana posisi gue yang sekarang harus sering ketemu sama dia kan? Lo bisa bayangin ketika gue harus menghadapi dia yang sangat bersemangat bikin lagu buat lo? Lo tau gimana gue yang udah muak karena semua liriknya itu buat lo?! Apakah gue egois ketika gue gak mau ada yang bikin lagu buat lo selain gue sendiri? Gue benci situasi ini, Nanta, gue gak sanggup! Kenapa ini harus terjadi sama gue?”

Sean bersandar pada pintu yang tertutup, memerosot ke lantai dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Ia tidak pernah baik-baik saja kalau menyangkut Kananta dengan masa lalunya sebab itu membuat Sean trauma. Masa lalu Kananta amat menyakitkan bahkan bagi dirinya yang tidak menyaksikan langsung. Bukankah keadaan Kananta yang selalu mengkhawatirkan dari hari ke hari cukup menjelaskan bagaimana hancurnya Kananta saat itu?

“Gue cuma mau lindungin lo, Nan. Tapi, gue sendiri pun gak sanggup hadepin ini. Gue mau jauhin lo sama dia, tapi gue sendiri yang jadi produser lagu yang dia bikin buat lo. Gue harus profesional, gue gak boleh campurin masalah pribadi sama kerjaan, tapi lo tau kan kalau gue pun gak bisa berhenti tiba-tiba karena ini? Kemarin Naufan selesai rekaman lagu itu, dan tinggal nunggu rilis. Gue harusnya lindungin lo, gue harusnya jauhin dia sama lo, bukannya bantu wujudin dia rilis lagu buat lo. Gue minta maaf, Nan.” Sean mengusap wajahnya dengan kasar. Rasanya ingin menangis tapi air matanya sudah mengering bahkan sebelum sempat menetes. Ia tak bisa menangis di hadapan orang yang seharusnya ia kuatkan.

Sekujur tubuh Kananta rasanya merinding mendengar pengakuan yang amat jujur sekaligus menyakitkan untuk didengar dari Sean. Setelah sebelumnya membentak dirinya, kini Sean terlihat amat rapuh, jauh lebih rapuh dari Kananta sendiri yang mengalaminya.

Kananta melangkah mendekati Sean, terduduk di lantai yang dingin untuk menyamai posisinya. Tangannya bergerak mengusap kepalanya dengan hati-hati. “Mas, harusnya aku yang minta maaf karena aku yang ….” Kananta menggantungkan kalimatnya sebab Sean mengangkat wajahnya dengan tatapan yang dingin.

“Ketimbang kecewa sama lo, sekarang gue lebih kecewa sama diri sendiri karena udah biarin lo ketemu lagi saat dia di malam konser itu. Nan …,” Tangan Sean bergerak menyentuh wajah sang istri, lantas menyeka sisa air matanya dengan ibu jari, “gue gak akan ninggalin lo. Gue baca semua pesan lo yang selalu berusaha buat hargain gue sebagai suami lo saat ini. Gue memang kecewa karena lo gak block dia sejak awal, tapi apa yang lo bilang tentang masa lalu, bikin gue mikir kalau kita memang seharusnya punya batas untuk masa lalu kita.”

Kananta hanya diam, berusaha mencerna ucapan Sean dan terus bertanya-tanya dalam hati untuk menebak Sean masih marah atau tidak. Sean membuka lututnya yang semula ditekuk, kini ia jadi duduk bersila, lantas menarik Kananta untuk dipeluk.

“Nan, gue minta maaf.”

Kananta langsung mengeratkan pelukan. Bohong kalau ia bilang Sean tidak membuatnya bersedih setelah membentak dan menuduhnya selingkuh. Ia hanya menangis, menumpahkan semua air matanya dalam sesi pelukan bersama orang yang menjadi penyebab air matanya juga. Apa yang Sean katakan sebelumnya membuat hatinya sakit, tapi hanya Sean juga yang bisa menenangkannya.

Sean melerai pelukan, memerhatikan wajah Kananta yang sudah basah dengan air mata dengan sisa riasan yang sedikit luntur. “Nan, gue minta maaf.”

Kananta mengangguk lemah, ia tak mampu lagi untuk berkata-kata sebab ia hanya akan kembali menangis setelah mengucapkan kalimat pertama.

Sean meraih kedua tangan Kananta dan menggenggamnya erat. “Maafin gue, Nanta,” ungkapnya sekali lagi sebab Kananta belum juga bicara.

“Aku juga kecewa sama kamu yang nuduh-nuduh aku selingkuh padahal aku berusaha untuk selalu menghindari ajakan dia buat ketemu karena menghormati kamu sebagai suami aku. Aku sedih dengernya, Mas. Tapi, aku harus gimana selain memaafkan kamu?” Kananta hanya bisa menunjukkan senyum pada Sean yang menatapnya cemas.

Kananta mengusap-usap tangan Sean yang masih menggenggamnya. “Seperti yang aku bilang sebelumnya, kita sama-sama punya masa lalu sebelum ketemu, Mas. Aku mau kasih kamu batasan buat membahas masa lalu yang udah berusaha aku lupain selama ini. Janji ya, gak bakal bahas lagi? Kita hidup di masa sekarang sebagai sepasang suami istri, kita pun punya masa depan yang ingin kita isi dengan lebih banyak kebahagiaan lagi. Jadi, aku mohon sama kamu untuk tidak membahas soal Naufan lagi ya, Mas? Anggap aja Naufan yang jadi mantanku, dengan Naufan yang sekarang jadi aktor itu orang yang berbeda. Aku sudah berusaha berdamai dengan masa laluku, jadi aku harap Mas Sean juga gak mengungkit-ungkit lagi.”

Sean menunduk untuk menyembunyikan air mata yang tak ingin ia perlihatkan pada Kananta. Ia bersyukur bisa memiliki Kananta sebagai istrinya. Banyak hal yang sudah keduanya alami bersama. Bukan hanya Kananta, Sean pun amat bergantung padanya. Ia tak ingin menjalani hari-hari tanpa kehadiran sosok wanita yang selalu memastikan dirinya untuk bersyukur karena masih diberi kehidupan hingga detik ini untuk merasakan banyak kebahagiaan yang belum dicoba. Membawa-bawa Sera yang sudah tiada di tengah keributan soal masa lalu Kananta adalah sebuah kesalahan besar. Setelah memandangi foto pernikahannya dengan Sera tadi, Sean sadar bahwa Sera memang pernah menjadi orang yang paling penting di hidupnya, tapi itu sudah masa lalu. Kini, yang paling penting bagi Sean adalah Kananta. Bukankah Kananta pun sama? Ya, Sean harap Kananta pun sama dengan dirinya.

“Satu hal yang perlu lo tau, Nan. Gue gak akan pernah mukul lo. Gue gak mau lo celaka karena gue. Gue juga gak bakal usir lo dari sini. Ini rumah kita, kalau lo gak ada, gue pun bakal ninggalin rumah ini. Seperti yang lo bilang, masih banyak kebahagiaan yang belum kita coba, gue mau lo selalu ada di samping gue di setiap momen kebahagiaan itu.” Sean meraih kepala Kananta dan mengecup keningnya agak lama, matanya terpejam hingga membuat air mata yang sedari tadi ia tahan menetes.

Kananta tiba-tiba menjauhkan wajahnya. Entah Sean menyadarinya atau tidak, air matanya menetes pada tangan Kananta. “Karena ini, kita jadi saling menyakiti seperti tadi, kita mendebatkan sesuatu yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. Tapi, aku senang kita bisa menyelesaikannya tanpa membuat itu berlarut-larut.”

Sean tersenyum tipis seraya pura-pura mengucek matanya, padahal ia sedang menghapus sisa air mata. Tiba-tiba ia menguap. “Kok gue tiba-tiba ngantuk, ya?”

“Habis nangis emang bikin ngantuk, Mas,” kelakar Kananta seraya tersenyum jahil.

Sean terbelalak kaget dengan jawaban Kananta, ternyata ia ketahuan menangis meski berusaha menyembunyikan air matanya sejak tadi. Kananta berdiri lebih dulu, lantas mengulurkan tangan untuk membantu Sean berdiri. Namun, ternyata Sean malah menggendongnya seperti karung beras, membuat Kananta terkejut bukan main dan berusaha untuk berpegangan sekencang mungkin karena takut jatuh.

“Yang nangisnya lebih banyak pasti lebih ngantuk juga kan? Ayo kita tidur aja sekarang,” ujar Sean seraya membaringkan Kananta di kasur, lalu berbaring di sebelahnya dengan posisi lebih rendah. Biasanya Kananta yang berbaring di dada Sean, kini Sean yang menenggelamkan wajahnya seraya melingkarkan tangan di perut sang istri.

“Ayo cepet tidur, makan malemnya skip aja, gue ngantuk,” ujar Sean dengan suara yang kurang jelas sebab sembari menguap.

“Aku masih pake baju kerja, Mas.” Kananta berusaha melepaskan diri dari pelukan Sean, tapi Sean memeluknya terlalu erat hingga akhirnya ia menyerah saja.

“Nan.”

“Iya Mas, kenapa?”

“Kita coba program hamil lagi, mau gak?”

--

--

Kev

Welcome to Kevlitera, an archive for Kev's Story.